Akhirnya selesai sudah. Dan kemenangan sudah di depan, dijalan waktu. Tapi benarkah itu menjadi sebuah kemenangan? Setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga? Setelah selama sebulan penuh memaksimalkan infak-sedekah. Setelah sebulan penuh tadzarus Al-Qur’an? Setelah setiap malam selalu mendirikan sholat malam dan beriktikaf dimasjid? Setelah sebulan penuh dengan amalan-amalan lainnya?
Setelah selesai maka dihadapkan dengan apa yang disebut dengan kemenangan itu. Yang mana seharusnya (bukan hanya harus, memang sudah sejatinya) kita seperti terlahir kembali seperti bayi baru yang bersih tanpa noda. Siap untuk menghadapi berikutnya dengan cara yang benar (tidak hanya baik), dengan semangat rambu dan koridor yang telah melatih kita dan telah kita jalani seperti apa yang telah kita kerjakan di sebulan ini. Sehingga kita pun selalu berjalan dalam hidup dalam range jalan yang sebagaimana mesti kita lakukan. Dan dalam perjalanan hidup tersebutlah yang dinamakan proses, proses tidak hanya menjadi seorang muslim yang kaffah tapi proses menjadi manusia yang sukses dunia-akhirat. Aaamiiin…
Namun sekali lagi apakah kemenangan itu dan apa yang telah kita lakukan dalam sebulan ini benar telah menjadi hal yang bisa kita implementasikan sesudahnya? Menjadi hal yang ridlo ketika kita melakukannya. Atau hanya menjadi sebuah rutinitas ritual keagamaan yang mana selalu terjadi dalam waktu dan kita pasti mengalaminya dalam umur kita? Apakah semua itu kita lakukan hanya berusaha mengharap hitungan kelipatan pahala saja?
Apakah hanya lapar dan dahaga saja yang kita dapat ketika nafsu, ego, riya’ masih menjadi keseharian? Apakah sedekah hanya berusaha mengharap hitungan kelipatan saja? Apakah tadzarus kamu benar-benar memahaminya atau hanya sekedar kejar target 30 juz demi hitungan kelipatan? Apakah amalan-amalan itu juga hanya berharap pamrih dan hitungan kelipatan juga? Dan apakah sholat malam dan iktikaf hanya berisi pamrih mengharap Lailatul Qodar? Apakah itu semua esensi dari sebuah proses di atas? Jadi teringat pernah membaca sebuah quotes (entah dari siapa dan dimana): jangan berdagang dengan Tuhanmu.
*Hanya coretan refleksi dari penulis yang tidak maksimal dalam memanfaatkan Ramadhan ini. Yang tiba-tiba harus bilang sayonara Ramadhan setelah sebulan lalu tidak terlalu menghiraukan Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Idul Fitri, minal aidzin wal faidzin.