Akhirnya selesai sudah. Dan kemenangan sudah di depan, dijalan waktu. Tapi benarkah itu menjadi sebuah kemenangan? Setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga? Setelah selama sebulan penuh memaksimalkan infak-sedekah. Setelah sebulan penuh tadzarus Al-Qur’an? Setelah setiap malam selalu mendirikan sholat malam dan beriktikaf dimasjid?  Setelah sebulan penuh dengan amalan-amalan lainnya?

Setelah selesai maka dihadapkan dengan apa yang disebut dengan kemenangan itu. Yang mana seharusnya (bukan hanya harus, memang sudah sejatinya) kita seperti terlahir kembali seperti bayi baru yang bersih tanpa noda. Siap untuk menghadapi berikutnya dengan cara yang benar (tidak hanya baik), dengan semangat rambu dan koridor yang telah melatih kita dan telah kita jalani seperti apa yang telah kita kerjakan di sebulan ini. Sehingga kita pun selalu berjalan dalam hidup dalam range jalan yang sebagaimana mesti kita lakukan. Dan dalam perjalanan hidup tersebutlah yang dinamakan proses, proses tidak hanya menjadi seorang muslim yang kaffah tapi proses menjadi manusia yang sukses dunia-akhirat. Aaamiiin…

Namun sekali lagi apakah kemenangan itu dan apa yang telah kita lakukan dalam sebulan ini benar telah menjadi hal yang bisa kita implementasikan sesudahnya? Menjadi hal yang ridlo ketika kita melakukannya. Atau hanya menjadi sebuah rutinitas ritual keagamaan yang mana selalu terjadi dalam waktu dan kita pasti mengalaminya dalam umur kita? Apakah semua itu kita lakukan hanya berusaha mengharap hitungan kelipatan pahala saja?

Apakah hanya lapar dan dahaga saja yang kita dapat ketika nafsu, ego, riya’ masih menjadi keseharian? Apakah sedekah hanya berusaha mengharap hitungan kelipatan saja? Apakah tadzarus kamu benar-benar memahaminya atau hanya sekedar kejar target 30 juz demi hitungan kelipatan? Apakah amalan-amalan itu juga hanya berharap pamrih dan hitungan kelipatan juga? Dan apakah sholat malam dan iktikaf hanya berisi pamrih mengharap Lailatul Qodar? Apakah itu semua esensi dari sebuah proses di atas? Jadi teringat pernah membaca sebuah quotes (entah dari siapa dan dimana): jangan berdagang dengan Tuhanmu.

*Hanya coretan refleksi dari penulis yang tidak maksimal dalam memanfaatkan Ramadhan ini. Yang tiba-tiba harus bilang sayonara Ramadhan setelah sebulan lalu tidak terlalu menghiraukan Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Idul Fitri, minal aidzin wal faidzin.

Ternyata berkendara itu capek. Tidak hanya capek fisik. Tapi juga psikis. Apalagi dijaman sekarang ini. Jalanan adalah salah satu tempat yang punya tingkat stressor bagi manusia yang paling tinggi. Gimana tidak coba? Marah, gusar, emosi, bahkan sampai misuh bisa langsung keluar meledak. Pasti sudah kebayang jalanan macet a.k.a menjelang lumpuh yang ada di Jakarta yang sering masuk tipi akhir-akhir ini. Tapi tak usah jauh-jauh kesana. Di Jogja (dan daerah –daerah sekitar kita) pun pasti sudah tak jarang ditemui. Bisa disebabkan karena kondisi di jalan yang memang yang semakin tidak jelas atau juga karena oleh pengguna jalan kurang beretika atau malah kombinasi kedua-duanya. Mulai dari ngebut ditengah kemacetan, orang yang mendahului dengan ekstrem, parkir di bahu jalan seenaknya sendiri, angkutan umum yang seenaknya sendiri njemput atau menurunkan penumpang, dan bahkan sampai orang menyeberang jalan tanpa tengok kanan kiri seolah-olah ingin bunuh diri saja (kalao bener bunuh diri enakan dia kesampaian ketabrak dan mati, lha yang nabrak? Panjang urusan, dab). Seperti kasus yang belum lama ini waktu aku memasuki area jalan di daerah Bogem, Prambanan. Di situ ada jalan dengan 3 jalur. 1 jalur di tengah untuk kendaraan berat seperti mobil, bus dan truk. Dua jalur disampingnya untuk sepeda ataupun sepeda motor. Sudah jelas-jelas hal itu tertulis di rambu yang bertuliskan sebelum masuk memasuki area itu. Waktu itu aku dari arah Klaten menuju Jogja. Berhubung jalur yang ditengah waktu itu lagi padat, dan seringnya begitu karena jalur tengah kurang besar dan satu jalur untuk dua arah, ada bus yang tiba-tiba nyelonong masuk jalur samping. Well, akhirnya sudah kebayang sendiri, bus segede itu seenaknya sendiri masuk lalu njemput-turunkan penumpang di jalan yang notabene diperuntukkan untuk pengendara-pengendara kecil. Jalan jadi sesek, terjadi antrian, klakson saling sahut-sahutan, misuh-sumpah serapah tak lupa ditinggalkan. Sekilas juga terlihat ada juga yang mengacungkan jari tengah. Tapi yang bikin gemes adalah kernet dan sopir bus itu cuma senyum-senyum saja dengan kondisi itu. Demnn..

Ada satu lagi, kejadian ini sering kualami tiap kali pulang ngantor, kadang pas berangkatnya juga. Ini terjadi di jalan yang mana sudah jadi jalan fardu ‘ain-ku. Mau tak mau harus lewat jalan situ. Jalan itu sebenarnya sudah ramai, macet tiap kali jam-jam pulang kantor. Namun sekarang semakin tak karuan saja apalagi setalah kedatangan H*k Ben, Dun*in, dan Pi**a Hut yang segaris yang kalau diukur jaraknya tak nyampai setengah kilo. Padahal jalanan itu kurang lebih panjangnya hanya 1 km (ya Jakal namanya, yang sepanjang dari MM UGM – perempatan Kentungan) dan sepanjang jalan itu sudah banyak terdapat Hotel, berbagai foodcourt keren, supermarket dan tetek bengek laennya. Keadaan itu menyebabkan traffic keluar masuk kendaraan jadi padat. Belum lagi parkiran yang sampai membeludak. Bahu jalan bisa seenaknya saja berubah jadi lahan parkir. Bueehh… Ampun. Waktu itu pulang ngantor, dari arah utara. Dan jalanan dari utara ke selatan masih normal. Tapi yang dari arah selatan, matot. Mobil-mobil nggremet. So, beberapa pengendara motor dari arah tersebut make sisi laen jalan yang dari arah utara karena tidak serame yang dari selatan. Masih cukup tempat buat nylusup-nylusup, dipikiran mereka mungkin seperti itu. Dan aku dari arah utara mau mendahului mobil di depan, tiba-tiba dari depan ada motor gede yang mengahampiriku. Untung saja, sigap mengerem dan langsung kembali sembunyi di balik mobil itu. Motor dari depan pun terus saja melaju ke depan. Pengen muntab. Sigh.

Itu hanya satu-dua kasus saja. Tentu masih banyak contoh-contoh yang laen. Dan tidak munafik juga mungkin kadang aku juga jadi pelaku yang kurang beretika itu.

Well, kenapa kesadaran berkendara masih kurang? Mengapa oh mengapa? Terlalu complicated untuk menjelaskannya. Masalahnya bisa berasal dari pengguna jalan sendiri atau dari pihak luar dan kondisi jalanan a.k.a fasilitas berkendara. Mungkin bisa juga reward dan punishment yang sebatas formalitas saja. Ah, dan ujung-ujungnya bisa saling menyalahkan. Beretika di jalan, kuncinya cuma satu, toleransi. Saling menjaga dan saling mengalah. Soalnya ini berhubungan dengan keselamatan. Taruhannya bisa nyawa, kalau tidak nyawa paling tidak ya patah tulang atau lecet-lecet. Pilih yang mana? Sudahkah anda aku mempraktekkan beretika di jalan?

Sunset, Waktu

Posted: August 2, 2010 in setorie, thought thought and thought
Tags: ,

Sekali lagi seperti halnya waktu yang terus berjalan kita hanya bisa mengikuti arusnya. Tak mampu untuk menghadangnya. Bisa menjadi selayaknya selembar daun kering yang hanyut dalam alirnya arus sungai. Kadang ingin sekali waktu itu berhenti, tapi kadang ingin sekali cepat berlalu. Pergi, enyah hilang tak membekas. Pun dalam waktu bisa ditemukan impian. Dan jika impian itu disertai dengan tindakan (dan doa) maka waktu mengubahnya menjadi harapan dan pada ujung metamorfosisnya berwujud kebahagiaan. Sangat utopis memang jika di dalam waktu yang sesungguhnya abstrak-identifikasi hanya terdefinisi seperti itu. Karena di dalamnya juga automatically included berbagai macam standar eror,  y = a + bx, paling belakangnya pasti ada embel-embel e, yang sering kali menjadi musuh penghalang dan menyebabkan roda itu berputar. Dimana segala sesuatu bisa di atas dan di bawah. Ya, karena konsep waktu itu adalah t ≠ nol. Deras. Bahkan dalam hitungan milisekon. Hmm, dalam waktu juga lah kita bisa melewati malam akan datangnya fajar. Bisa sejenak menikmati tenggelamnya matahari ditengah-tengah teriknya hari dan dinginnya malam. Semua sudah tersusun rapi dari-Nya. Jangan sekali-sekali menolak dan menghadangnya. Mainkan saja. Nikmati, telan dan cerna. Maka akan bisa menikmati saat waktu kita benar-benar berhenti. Damn, kenapa dengan bahasa ku ini!

Well, now it’s Monday. Just another time, another one of day from the other ordinary day. Back to that 6 x 7 square meter for the next 5 days. The day i’m always really really hopes it will pass soon. Welcoming the wiken and then it feels like the beautiful sunset after the hard day. And wish the time would stopped at that moment…

Selalu mencoba untuk dinamis, mungkin lebih tepatnya mencoba ikut alur kedinamisan. Dinamis. Salah satu hal yang tak bisa dihindari dan diprediksi dalam hidup. Duh, ujug-ujug wis serius. Laksana waktu yang datang dan tak bisa dihadang. Ya, dinamis selalu ekuivalen dengan dengan waktu. Terus saja melaju dan mendera, tak bisa aku menghadangnya. Ketika aku beranjak melakukan sesuatu -atau tak melakukan sesuatu pun, tiba-tiba saja dihadapkan pada hal tertentu dengan sekejap. Semua terpersepsi tak terduga, atau memang begitulah kenyataannya, tak terduga. Beberapa hal yang sama sekali tak tersusun dalam benak. Jangankan tersusun, bahkan yang sama sekali tak pernah terlintas pun tiba-tiba nongol dan malah bisa menjadi concern utama kita. What a life. Dan hal-hal seperti itu lah yang bisa membuat hidup terasa lebih berwarna. Hmmm, ya, seperti itulah. Tak statis. Jika konteksnya hidup adalah himpunan yang paling besar, maka segala kegiatan dan peristiwa didalamnya adalah himpunan-himpunan kecilnya. Himpunan-himpunan kecil itu pun juga memerlukan –pasti terjadi- kedinamisan.

Dalam ruangan 6 x 7 meter ini, yang hanya diisi tiga orang, dalam sela ke-statis-an keseharian yang (fardu ‘ain-nya) dimulai dari jam 07.30 dan sampai jam 16.00 ini aku mencoba mencari-cari hal lain apa yang bisa dilakukan agar bisa dinamis, meski hanya terlihat duduk statis. Tak peduli apa itu, yang penting biarkanlah pikiranku dinamis. Dalam posisi ini. Kalau sudah seperti itu, biasanya aku hanya menghadap benda 17 inchi ini untuk berusaha menambah dan menggerakkan kedinamisan pikiran. Ah, apa lah itu. Salah satu halnya adalah mencoba memulai lagi kegemaranku saat dulu ini. Ya, ini. Tau kan, ini?

Sudahlah. Setelah cukup lama diam, hampir setahun kayaknya, mencoba lagi untuk memulai. Sudah barang tentu rentang waktu selama itu sebenarnya bisa mencapai beribu-ribu kata yang bisa kususun untuk kubariskan mendeskripsikannya, karena sudah banyak peristiwa yang terjadi, banyak kedinamisan fase yang terjadi yang kualami. Dinamis, bisa dikata begini? Jika menilik waktu saat dihadapkan pada sesuatu yang sudah terjadi, bisa saja kita bilang ‘cepat’. Namun siapa sangka jika kita mencoba merasakan kita kembali ke proses, merunut satu per satu kedinamisan yang terjadi di dalam rentang waktu itu, maka bisa terasa betapa tak secepat itu terlewati.

Dan kini aku mulai menikmati kedinamisanku –lagi.

Duduk Dalam Diam

Posted: January 14, 2010 in poem

Seperti yang kita tahu
sekarang kita telah tahu
Seperti yang ku mau
Begitu pun yang kau mau

Karena kita begitu dekat
dan saling beradu
rayu, jambak, cubit dan merajuk
Tapi itu dulu

Dan kini,
Dari tatap kita
Aku telah tahu
Aku hanya duduk dalam diam

Titik atau… koma,

Posted: July 5, 2009 in Uncategorized

Hiatus dulu, entah kenapa males banget untuk apdet (nulis –red) di blog ini. Bukan berarti gue berhenti nulis alias nyampah, sekarang hobi nulis-nulis gue tuangin di note fesbuk gue. Hmmm… mungkin yang sekalian log-in kali gitu ya. (dasar pemalas) Pokoknya saat ini blog ini gue STOP dulu, mungkin suatu saat bakal balik lagi. Semoga lah…
Cheese…

Senin Sore, Dab!

Posted: May 11, 2009 in setorie
Tags:

Senin sore dab! Fuuuh, finally…

Yop. Gue bisa apdet blog lagi setelah sekian lama hiatus. Hiyyah, lambemu…sok artis kowe dab!!!

Dan seperti biasanya sore-sore jam segini hanya bengong memanfaatkan fasilitas bandwith kantor (parasit!!!) dan (kali ini) ditemani beberapa koleksi Secondhand Serenade.

But what would I say? Banyak sebenarnya. Sampe-sampe bingung harus mulai darimana. Halah… Yang jelas salah satu tujuan gue apdet ini parkiran lagi adalah gue pengen mencoba mulai menuangkan uneg-uneg gue lagi di parkiran ini lagi. Setelah beberapa bulan terakhir pikiran ini sempit dan hanya memandang banyak hal sebatas arah kacamata kuda. Sigh!!! Mari kita mulai nongkrong lagi!!! (semoga saja bisa begitu, amin dah)

Di temani secangkir kopi di atas di sebuah balkon, weekend itu dia duduk-duduk bermalasan menikmati pagi hari. Tapi semua tampak tak biasa. Pertama bukan karakternya pagi-pagi dia nikmati dengan bermalasan dengan tatapan nanar. Kedua, senyum mukanya berat ketika beberapa orang yang sedang jalan-jalan menyapanya dari bawah, tidak seramah ketika menghadapi seorang klien. Yang tampak biasa hanyalah beberapa kertas putih berserakan di meja dihadapannya, yang bercetakkan beberapa list company profile nasabahnya. Plus sebuah blackberry yang beberapa kali berbunyi, tapi tak sekalipun dia perhatikan. Yang dilakukannya saat itu hanyalah sekedar mencoba menikmati pagi itu, menghirup udara pagi sambil melihat-lihat aktivitas pagi hari kompleks perumahan itu. Tapi sekali lagi dengan tatapan nanar.

 

Beberapa tahun yang lalu, sudah melebihi angka sepuluh tepatnya, sebuah idealisme dan mimpi masa depan tertanam mengakar dalam pikirannya.

 

Tidak, sudah nyampai dasar hatinya mungkin. Ya, mimpi seorang gadis-gadis kecil desa yang terbiasa mendengar cerita-cerita tentang orang urban yang berhasil mewujudkan mimpi di kota besar, cerita-cerita roman fiksional dari novel, sinetron ataupun film metropop yang didapatinya bersama teman-teman seumuran lainnya.

 

Dan saat itu, sebagai seorang yang baru saja lulus kuliah dan mendapat sebuah pekerjaan yang diimpikannya, di ranah ibukota apalagi, mimpi itu tidak hanya sebatas mimpi utopis masa kecil saja. Mimpi itu akhirnya perlahan tumbuh berkembang menjadi tujuan dan idealisme masa depan yang sudah ter-planing dan ter-sketsa dengan jelas.

 

Namun kini hatinya berbisik lain. Bertanya. Bertanya kepada dirinya sendiri, bahwa apakah semua yang telah, sedang dan akan dilakukakannya saat itu benar-benar sebuah idealisme hidup yang bisa membuatnya merasa bahagia? Hufff, bahagia. Apalah definisi kata itu? Sudahkah aku bahagia dengan keadaan saat ini? Bisiknya lagi.

 

Semua yang dialaminya terasa membosankan. Hedonis. Serba extravaganza. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Terjebak. Capek.

 

Lalu sesaat sebuah pemikiran tentang pencapaian hidup terlintas dibenaknya. Bahwa manusia tidak akan punya batas kepuasan. Jika terus saja dikejar justru akan menjerumuskan. Kata-kata itu muncul di kepalanya tidak hanya sekedar petuah bijak yang selalu didengarnya dari orang-orang tua, pendeta, ataupun seorang motivator andal, tapi benar-benar keluar dari dirinya sendiri. Atau paling tidak, dia sudah bisa meng-amin-i bahwa kata-kata tersebut benar adanya. Ya, kata-kata itu juga pernah diucapkan oleh sahabat lamanya.

 

Yap, dia teringat dengan sebuah obrolan bersama sahabat lamanya itu ketika bertemu beberapa tahun yang lalu. Obrolan yang cukup lama di sebuah restoran kecil di kota kecil pula, tempat mereka berdua berasal. Saat itu dia awalnya bertanya kepada sahabatnya kenapa dia melepaskan sebuah tawaran besar untuk bekerja di sebuah perusahaan multinasional di ibukota -sebuah hal yang telah diimpikan mereka berdua, untuk kemudian lebih memilih tinggal di daerah dengan akhirnya menjadi seorang abdi negara dan menjadi anggota sebuah LSM.

 

Dia mencoba memikirkan kembali jawaban sahabatnya itu. Menjadi orang biasa tapi bisa dekat dan lebih berarti bagi orang-orang yang menyayanginya adalah satu-satunya alasan sahabatnya menolak tawaran itu. Tapi bagi dia saat itu, alasan itu sungguhlah tidak masuk akal. Sebuah pemikiran yang sempit, katanya saat itu.

 

Tapi kini…

 

Dia mencoba membangkitkan lagi ingatan setiap obrolan bersama sahabatnya itu. Kata demi kata. Ya, orang yang benar-benar dia sayangi dan menyayangi dia yang jarang ditemukannya kini. Untuk apa semua pencapaian idealisme ini jika orang-orang seperti itu jarang, bahkan hampir tidak ada disekelilingnya. Setiap hubungan yang dijalaninya dengan orang-orang disekitarnya hanyalah sebatas profesionalisme. Jika pun diluar itu, hanyalah sebuah basa-basi yang terkamuflasekan.

 

Selagi dia mengingat sahabat dan peristiwa yang terjadi sore itu, sebuah bayangan yang tidak biasa muncul di pikirannya kemudian. Ada keinginan suatu saat kembali saja ke daerahnya. Bekerja di sebuah lembaga nirlaba, atau semacam LSM. Dimana goal akhir bukanlah seputar uang dan profit. Ketika kesuksesan tidak lagi melulu diukur dengan jumlah pendapatan yang masuk ke rekening. Sepertinya itu bakal menyenangkan.

 

Ya, sepertinya bakal menyenangkan jika yang tersisa dalam diri adalah keinginan untuk berbagi, dengan orang-orang tersayang.

Sepertinya menyenangkan jika setiap hari kita menjadi berarti bagi orang lain yang membutuhkan kita, bisa menjadi lebih sosialis.

Sepertinya bakal menyenangkan jika merek sebuah handphone bukan hal yang perlu diributkan.

Sepertinya bakal menyenangkan jika nama yang tertera di baju tidak lagi melulu gucci, versace, jimmy choo ataupun dari seorang desain terkenal lain.

Sepertinya bakal menyenangkan jika sandal dan sepatu tidak lagi berjudul hugo boss, nike dkk tapi sudah berganti menjadi daimatu atau swallow.

Sepertinya bakal lebih menyenagkan jika Jaguar, Mercy ataupun BMW bisa menjadi sebuah mobil angkutan umum yang bisa mengangkut anak-anak desa berangkat sekolah.

Sepertinya menyenangkan jika anak-anak jalanan itu bakalan menjadi orang-orang pandai berkat pengetahuan yang kita kenalkan.

Sepertinya lebih menyenangkan menjadi lebih peka terhadap sesama dan membentuk rasa sukur atas segala nikmat Tuhan.

 

Sepertinya akan lebih membahagiakan dan menenteramkan hati dengan kesenangan-kesenangan kecil nan sederhana itu.

 

Aha…

 

Hufffff…

Tapi itu hanya sebatas bayangan dipikirannya saja. Benarkah seperti itu?

 

???

 

Tapi paling tidak hal itu bisa membuatnya tersenyum tipis, manis, disela-sela raut mukanya yang nanar di pagi itu. Dan hal itu juga, setidaknya bisa mempresentasikan secercah asa tujuan baru ketika sebuah idealismenya sudah berada pada ujung titik, dimana seorang manusia bisa menjadi picik dan hilang akal sehatnya.

 

 

Akhirnya tertujulah kedua matanya di jalanan di bawah, pada seorang manusia mungil lucu dan tergelak tawa di dalam sebuah kereta kecil yang didorong seorang wanita yang biasa dipanggil Ibu.

 

Oh, Tuhan… Sekali lagi dia berbisik pada dirinya sendiri

 

 

Dik

Posted: March 19, 2009 in poem, setorie
Tags: , ,

 

Dik,

Ingat kah dimana pertama kali kita berjumpa?

Di sawah, dik

Tepatnya, di jalan yang membentang ditengah sawah yang

menghubungkan ke-dua desa kita

 

Masih ingatkah kamu, dik?

 

Saat itu, aku sedang jalan kaki beranjak pulang dari menuntut ilmu

Yang kata orang, agar kita tidak lagi dibodohi Londo-Londo itu

dan kita bisa mengatur negeri ini sendiri

Ingatkah, dik?

Saat itu, sambil menuntun sepeda kunikmati indah sore

Menikmati angin sawah yang menghembus masuk ke otak ku

setelah seharian penat di penuhi doktrin-doktrin dan idealisme

 

Dan bersamaan dengan angin sore yang berhembus

Kamu pun lewat dihadapanku, dik

Berjalan telanjang kaki dengan gendongan di punggungmu

Berisi beberapa hasil tanam guna menyambung makan

Rambutmu yang hitam panjang, terikat tak karuan di belakang

beberapa ada yang terlepas dan beruraian tertiup angin

Menutupi rona wajahmu yang bersemi

Ooh…

Dan aku pun terpesona, dik

 

Kebaya putih membalut tubuh elokmu, sempurna

membuatmu tampak lebih anggun

Membuat mata setiap lelaki tak berpaling pandang

Lalu, kedua mata kita saling bertemu

Dan tiba-tiba tubuh ini layu dan diam

Untung saja aku masih bisa berdiri tegap

Kalau tidak pasti akan kamu tertawakan

Bibir mungilmu pun tersenyum, tipis

Tapi itu sudah cukup membuatku melayang, dik

Oh, Gusti…

Nyatakah ini?

Kalau sampai rumah kuceritakan pada mbok, pasti dia tidak akan percaya

 

Dan benar saja, dik

Ketika sampai dirumah, keceritakan perihal dirimu pada si mbok

Mbok pun hanya bilang:

Duh Gusti, sadar to le. Sore-sore kok wis ngelamun di tengah sawah. Jangan-jangan kesambet kowe, le?”

Ah, si mbok

Tapi apa lacur, aku cuma senyum geli mendengar komentar si mbok

Ingin membantahnya pun tak daya

beginilah rasanya telah jatuh hati…apa mau dikata?

 

Tapi nyata kan saat itu, dik? Kita benar-benar berjumpa ‘kan sore itu?

Benar ‘kan saat itu kamu berikan senyumanmu padaku?

Sejak saat itu aku selalu teringat mu

Aneh ya, dik? Padahal siapa kamu aku pun tak tahu

Asal-usulmu, bahkan namamu

Tapi sejak saat itu pula, aku juga tak pernah melihatmu lagi

Meski aku selalu melintasi jalan itu tiap sore

Tak pernah lagi…

Hingga aku harus pergi demi sebuah idealisme

Tak pernah lagi…

 

Tapi aku selalu berdoa kepada Sang Gusti

untuk diberi kesempatan bisa berjumpa lagi dengan mu

 

Dan doaku pun akhirnya terjawab

Doa yang selalu kuucapkan disetiap sujud terakhirku

Setelah sekian tahun akhirnya kita berjumpa lagi, dik

Setelah idealisme itu berbuah sebuah kemerdekaan

Terimakasih Gusti, telah Kau pertemukan aku lagi dengannya

 

Namun kondisi tak lagi sama, dik

Kujumpai dirimu dengan keadaan yang menyayat hati

Dirimu yang dulu terlihat anggun kini rapuh tertindih beban hidup

Kulitmu yang segar kini layu

Rambutmu mulai memutih dan rontok sebelum waktunya

Senyummu pun berat

 

Dan kau pun mulai ceritakan semua padaku

 

Sudah, dik

Sudah..

Jangan kau teruskan lagi ceritamu

Tak kuasa hati ini merasa

Hanya sesal dan ketidak-ikhlasan yang kudapati

Setelah sore itu harusnya kuperjuangkan saja dirimu, dik

Sehingga kamu tak harus jatuh ke tangan seorang tuan tanah

Dimana dengan dalih menyelamatkan hidup keluargamu

telah kamu relakan hatimu, batinmu, badanmu dan pikiranmu untuknya

Tapi malah keadaan seperti itu yang kau dapat

tak seharusnya dengan apa yang telah kau korbankan untuknya

Benar lelaki bajingan dia, dik

 

Ah, menyesal aku, dik

Aku lebih memilih memperjuangkan sebuah idealisme

Meskipun itu berbuah sebuah kemerdekaan, tapi apa artinya

jika aku harus mendapati dirimu seperti ini

Dan lihat saja sekarang, Londo-Londo itu masih disini

Malah semakin biadab saja

Tapi Gusti Maha Adil ya, dik?

Tuan tanah keparat itu akhirnya mampus terpanggang oleh mortir Londo

Dan kamu pun terbebas dari siksa nestapa itu…

 

Dan sekarang,

setelah kita menghabiskan waktu ini bersama

Dengan jiwa yang kelu

kugenggam tanganmu dingin di pembaringan

Dan saat matamu terpejam, sudut bibirmu pun tersenyum padaku

Tipis…

Tapi tulus…

persis saat pertama kali kita berjumpa dulu

 

Aku pun kini mencoba ikhlas, karena kau telah pergi dengan senyummu itu

Setelah Cukup Lama (Ora Misuh!)

Posted: March 16, 2009 in setorie
Tags: ,

Rasanya bener-bener pengen misuh-misuh! Sudah seminggu terakhir cuaca Jogja benar-benar panas, terik! Tapi bukan itu yang bikin gue misuh-misuh, hanya saja itu membantu untuk melancarkan kata-kata tersebut keluar dari cangkem ini. Siang itu adalah gue naek motor dalam kondisi keburu dari arah eks-Studio Musik Alamanda* bermaksud menyeberang Jl Affandi (dulunya Gejayan), tapi dasar nasib, biasanya yang jam-jam segitu belum terlalu ramai kenapa sudah crowded banget sehingga amat sangat susah untuk menyeberangnya. Tak ada traffic lite, tak ada pula petugas polisi ataupun seorang ‘petugas penyeberangan’ seperti yang biasa ada di depan Quality Hotel dan di pertigaan Jalan Solo arah dari dan ke Seturan, yang membantu menyeberangkan orang-orang yang ingin meyeberang (gue masih penasaran petugas itu benar-benar suka rela membantu apa ada yang membayar ya? Salut pokoknya). Oleh karena itu hanya bermodalkan keberanian sambil berharap akan kesadaran para pengendara agar memberi kesempatan untuk bisa berhasil menyeberang. Sebenarnya gue bisa saja cari amannya dengan ambil ke kiri trus ngikutin kesemrawutan dengan pelan-pelan ambil sisi kanan kemudian di depan Iga Bakar Gejayan baru putar balik. Tapi lacur di sisi kiri gue sudah dipepet oleh sebuah mobil box dan di belakang gue juga sudah banyak yang ngantri untuk menyeberang sehingga mau tak mau harus maju terus. Fuuhh benar kondisi yang tidak menyenangkan ditengah-tengah panas seperti itu. Setelah lama menunggu kesemrawutan agak mereda kami yang sudah hampir LIMA menitan ngantri memberanikan atau lebih tepatnya nekat menyeberang. Dan tiba-tiba cyiiiiiiiiitttt…. dari selatan ada sebuah motor yang ikut-ikutan beradu nekat. Tapi Tuhan masih memberinya kebaikan hati dan kesadaran untuk memberi jalan kami untuk menyeberang dengan segera menginjak pedal rem-nya. Udah tahu banyak orang yang menyeberang di depannya masih saja nekat…

 

Tidak lama setelah menyeberang lagi-lagi suasana jalanan membikin suhu otak mendidih. Di setiap tepian badan jalan Affandi sebagian besar sudah beralih fungsi jadi lahan parkir sehingga mempersempit jalan dan menambah kesemrawutan, kemacetan, ketidaknyamanan dkk. Maklum di sepanjag jalan Affandi dari ujung utara sampai ujung selatan banyak berdiri Rumah Makan, butik-butik, counter handphone, dan kampus yang mana pasti banyak motor dan mobil yang dengan sok anggun serta sok rapi berhenti berjajar di depannya a.k.a markir. Belum lagi bus-bus kota yang seenaknya saja berhenti dan tancap gas. Setelah dipepet secara halus oleh mobil box dan hampir tertabrak orang yang sama-sama nekat, giliran tepat didepan Studio One gue dipepet paksa oleh sebuah bus kota yang tiba-tiba ambil kiri rem mendadak untuk ambil penumpang. DANCUK, BRENGSEK MATANE ASU! Benar-benar kombinasi yang MENYENANGKAN antara semakin ‘mungilya’ kondisi jalan, semakin banyaknya kendaraan dan psikologi para pengendara yang menjunjung tinggi ‘kebebasan’ sak udele dewe** plus kondisi cuaca yang cepat bikin panas (baik fisik maupun emosi) .

 

Tidak sepenuhnya salah sopir bus yang seenaknya sendiri bejek rem mendadak cos mereka ingin segera mengangkut penumpang yang ada sebelum dibajak oleh bus lain, mereka harus kejar setoran dan mereka juga punya anak dan istri di rumah, tapi juga dikarenakan oleh para penumpang yang seenaknya sendiri milih tempat untuk mencegat bus, padahal juga sudah disediakan beberapa buah pemberhentian bus. Tapi mereka lebih memilih seperti di keramaian seperti depan toko-toko yang sudah penuh sesak oleh parkiran didepannya, di perpotongan gang dengan jalan utama (Affandi) yang mana juga pastinya sering banyak kendaraan menumpuk ngantri untuk menyeberang. Buwwaahh… Anehnya, diantara mereka-mereka kebanyakan orang-orang muda dan sebagian besar mahasiswa. Tidak bermaksud nge-judge menyalahkan siapa-siapa, karena gue tahu gue tidak di posisi mereka. Ini sebenarnya masalah klasik, terutama bagi kota-kota besar. Dan kalau ngebahasnya bisa mbulet kemana-mana sok nggambleh berpidato ria ala caleg berkampanye. Ah, malah malah bisa tambah bikin gue misuh lagi. Gue disini hanyalah salah korban dari ketidaknyamanan tersebut. Dan kadang juga salah satu yang punya andil dalam ketidaknyamanan tersebut (bagi orang lain). Kadang ^^

 

Itu adalah beberapa peristiwa yang (semakin) sering terjadi disepanjang Jalan Affandi sekarang-sekarang ini. Benar atau salahnya gue gak bisa menjamin karena gue ngomong tidak berdasar penelitian ilmiah yang disertai dengan perhitungan-perhitungan statistika. Tapi hanya berdasar pengalaman pribadi saja yang sudah lebih dari lima tahun wara-wiri di jalan tersebut, juga beberapa jalan lain di Jogja yang bernasib sama. Eh, bernasib sama juga???

 

 

*) Studio musik itu sekarang kemana ya??? Tutup? Relokasi????

**) Semaunya sendiri.